Jun 18, 2013

My Fail Publish Opinion In The Local Newspaper

Last week I wrote an opinion article, i intend to send it to one of  local newspaper in my town. but unfortunately  it failed to publish, because the title of my article is not suitable for  current issue. But nevermind i will post it here. Just keep Fighting and gambatte ^^.


DEMOKRASI KARBITAN
Oleh Sovia Hasanah
Anggota Muda Lembaga Advokasi Mahasiswa dan Pengkajian Kemasyarakatan
(LAM&PK FHUA)

Bagaikan pisang masak dengan bantuan karbit, begitu juga Negara  kita yang kekeuh sekali menyatakan diri sebagai Negara demokrasi. Memang benar secara normaif Negara kita merupakan Negara hukum dengan salah satu ciri menjunjung tinggi nilai demokrasi. Tapi sayangnya demokrasi yang dilakoni adalah demokrasi karbitan. Setalah reformasi, Indonesia terburu-buru ingin keluar dari belenggu rezim orde baru. Reformasi secara besar-besaran terjadi akibat luka yang timbul pada rezim orde baru. Kekuasaan eksekutif mulai dibatasi dengan diamandemennya UUD 1945 dan secara eksplisit memberikan kekuasaan yang lebih kepada lembaga legislatif. Awalnya ini  merupakan hal yang baik dimana dalam sebuah Negara demokrasi rakyatlah yang berkuasa baik secara langsung maupun diwakilkan kepada dewan perwakilan rakyat sebagai represantasi dari rakyat itu sendiri.
Hakikatnya, demokrasi merupakan resistensi dari elit-elit yang bekuasa. Namun kenyataannya demokrasi itu merupakan alat bagi para elit-elit penguasa untuk mencari kekuasaan. Untuk mencapai kekuasaan tersebut banyak cara yang digunakan. Ada yang menjual popularitasnya,dan ini banyak kita temui pada artis yang nyaleg, Ada yang menguras harta kekayaannya dan ada juga digerakkan oleh cukong dan rela menjadi boneka cukong tersebut. Seperti yang banyak kita lihat calon leglislatif yang dibacking oleh pengusaha yang dengan harapan apabila berhasil menduduki kursi dewan rakyat kepentingan para pengusaha bisa dimuluskan oleh anggota dewan melalui undang-undang yang di produksi. Semua hanya dilakukan demi kekuasaan yang besar sebagai wakil rakyat atau pejabat eksekutif yang dicapai dengan cara memanfaatkan demokrasi karbitan Indonesia. Siapa saja bisa duduk di kursi empuk DPR asal bisa memenangkan pemilu yang hanya jadi ajang unjuk kebolehan dengan modal uang yang jamak mewarnai pemilu Indonesia. Orang-orang yang tak punya kocek tebal tentu hanya bisa menghayal untuk bisa mencicipi kursi empuk DPR. Pasalnya, tiket masuk DPR sudah terlalu mahal bagi kaum berkocek tipis. Untuk masuk daftar calon sementara pemilu tahun depan, ada partai yang memasang tarif yang “wow” sekali. Kalau memang seperti itu adanya demokrasi yang katanya dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat,pastinya masih jauh dari harapan. Tujuan semula duduk di parlemen adalah untuk memperjuangkn kepentingan rakyat, pasti berubah seiring proses pencapaian kekuasaan tersebut. Praktis representasi politik di negeri ini berada ditangan orang yang mampu membayar. Ongkos politik perebutan kursi di parlemen memang kian mahal. Calon legislator akan beradu polularitas. Popularitas tentu saja tidak didapatkan dengan cara mudah, perlunya menggali kocek yang lebih dalam lagi untuk mempopulerkan diri. Pemilik kursi palemen akan ditentukan oleh perolehan suara setiap calon. Walhasil, pertarungan antar calon dalam suatu partai pun bakal terjadi. Dengan pertarungan terbuka seperti itu, jorjoran biaya kampanye akan terjadi. Selain wajib menyumbang untuk keperluan partai, setiap kandidat perlu menyiapkan pengeluaran masing-masing seperti biaya pembuatan pamphlet,baliho, iklan-iklan di media cetak maupun elektronik sampai uang cadangan untuk serangan fajar.
                Yang tidak mampu membayar pasti kalah pamor dan nantinya kalah di pemilu. Dan konsekuensinya gagal duduk di kursi empuk parlemen. Bagi yang tidak mampu membayar tapi dicukongi oleh pemodal, setelah duduk di parlemen dijadikan boneka untuk memperjungkan kepentingan orang yang mencukonginya. Sungguh ironis sekali.
Semua ini merupakan dampak dari demokrasi karbitan Indonesia. Sejatinya Indonesia masih belum siap dengan apa yang dikatakan dengan demokrasi itu sendiri. Berbagai upaya dirasa perlu dillakukan agar Negara kita siap mengahadapi demokrasi yang substansial bukan prosedural belaka.
Solusi yang bisa ditawarkan untuk demokrasi Indonesia ialah perlunya kontrol tegas dari “wasit” dalam pentas pemilu. KPU dan Bawaslu jangan sampai memiliki kepentingan pemenangan salah satu calon. KPU dan jajaran KPUD di daerah harus menjadi “wasit” yang tegas serta mampu mengeluarkan “kartu” untuk mereka yang nakal dengan kordinasinya dengan Bawaslu. Dewan kehormatan penyelenggara pemilu (DKPP) yang sekarang gencar membersihkan internal KPU harus diapresiasi oleh masyarakat serta dikawal. Golongan akademisi baik mahasiswa dan dosen harus mampu memberikan pencerahan berdemokrasi bagi masyarakat sekitar. Baik di keluarga dan dimasyarakat akademisi adalah “tempat bertanya” yang harusnya dioptimalkan. Mahasiswa ilmu sosial dan politik serta hukum harusnya menjadi “penerang” demokrasi bagi masyarakat kita.
Parpol-parpol pemain dalam pentas demokrasi haruslah mengadakan pendidikan politik bagi masyarakat. Selain itu, media massa haruslah menjadi pencerdasan yang efektif bagi masyarakat. Namun, media sekarang pun tak luput dari kepentingan politik golongan atau perorangan. Masyarakat harus cerdas dengan pengalaman pahit yang telah berlarut terjadi di belakang. Jangan memilih orang yang cuma punya modal tapi tak mampu menjadi pemimpin yang cerdas dan memiliki visi yang nyata bukan kepura-puraan lewat slogan di bahilo besar semata.


here's my 2nd opinion. it's about UKT (uang kuliah tunggal) we can call it tutuion fee in collage. this policy just give more burden to parent's student .




Uang Kuliah Tunggal = Musang Berbulu Domba

Oleh Sovia Hasanah
Anggota Muda Lembaga Advokasi Mahasiswa dan Pengkajian Kemsyarakatan
(LAM&PK FHUA)

Menjelang tahun ajaran baru, orang tua calon mahasiswa harus siap dengan serangan maut uang kuliah tunggal (UKT). Karena kebijakan UKT akan diterapkan untuk mahasiswa 2013/2014 seluruh Indonesia pada tahun ajan baru ini. Pemerintah berdalih bahwa uang masuk kuliah akan murah karena uang pangkal ditiadakan.  Masyarakat pasti mendukung kebijakan diberlakukan UKT ini karena uang pangkal ditiadakan. Namun, sebenarnya itu hanya taktik pemerintah saja untuk  menaikkan uang kuliah melalui UKT. Tapi secara tidak sadar masyarakat telah dikecoh oleh pemerintah.
Ibarat rumus matematika, UKT merupakan turunan pertama dari UU No.12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UUPT). Dengan diberlakukan UKT artinya pemerintah sudah memepersempit akses pendidikan bagi mahasiswa ekonomi rendah. Pemerintah sudah mengabaikan amanat yang tertuang dalam pasal 31 Ayat 1 UUD 1945 dimana setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan yang layak. Kebijakan UKT berdasarkan Permen Kemendikbud No.55 tahun 2013 univesitas hanya diwajibkan menampung 10% mahasiswa yang berekonomi rendah padahal jumlah mahasiswa miskin lebih dari 50%. Dengan sistim uang kuliah lama saja hanya 20% dari penduduk Indonesia yang dapat mengecap pendidikan tinggi, apabila diterapkannya UKT kita tidak dapat membayangkan bagaimana nasib bangsa kita nanti kedepannya. Selama ini biaya kuliah di PTN  terdiri dari berbagai komponen antara lain sumbangan pengembangan pendidikan (SPP),  sumbangan pengembangan institusi (SPI), biaya operasional pendidikan (BOP), responsi dan kegiatan perkuiahan lain (PRKP) dan sebagainya. Namun, dengan diterapkan UKT semua kompenen diatas disatukan dan dibagi  delapan. Secara kasat mata UKT terlihat jauh lebih menguntungkan dibandingkan dengan sistim uang kuliah lama. Tapi setelah dikalkulasikan ternyata UKT  dua kali lipat lebih mahal. Selain itu dalam sistim pembayaran UKT ini membagi mahasiswa kedalam lima level pembayaran. Ini secara tidak langsung telah menciptakan klasifikasi sosial didalam lingkungan kampus.
Sejatinya UKT diterapkan karena adanya bantuan operasional perguruan tinggi(BOPTN). BOPTN ini ditentukan sesuai dengan kebutuhan dan kapasitas masing-masing universitas. Pertanyaannya adalah bagi universitas yang mendapatkan BOPTN yang sedikit apakah UKT-nya mahal? . jawabannya iya. Bagi univesitas yang mendapatkan BOPTN rendah maka kemungkinan besaran UKT tinggi dan akan menjadikan mahasiswa sebagai sapi perah universitas itu sendiri. Selain itu UKT merupakan langkah preventif pemerintah untuk menanggulangi pencarian BOPTN yang lambat dicairkan, dan UKT harus dibayarkan langsung tepat waktu tidak ada penundaan seperti SPP.
Setelah dikaji lebih dalam UKT  memiliki kejanggalan-kejanggalan yang dirasa merugikan mahasiswa secara menyeluruh. Secara yuridis kebijakan UKT yang akan diterapkan ini cacat hukum. Pasalnya kebijakan UKT  hanya berdasarkan surat edaran Dirjen Dikti yang dikeluarkan sebanyak lima kali dan katanya surat edaran ini berdasarkan pada UU No.12 tahun 2012 tentang pendidikan tinggi. Seperti yang kita ketahui surat edaran tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat itu hanya sekedar pemberitahuan pelaksanaan. Kalau memang pemberlakuan UKT berdasarkan UU No.12 tahun 2012 seharusnya diatur lebih lanjut di dalam peraturan pelaksanaan lainnya dalam bentuk peraturan pemerintah agar kebijakan itu memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Disamping itu surat edaran Dirjen Dikti telah lebih dahulu keluar yaitu pada Januari 2012 sedangkan UU No.12 tahun 2012 baru keluar Agustus 2012.
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa kebijakan pemerintah tentang penerapan UKT secara eksplisit merugikan masyarakat berekonomi rendah serta tidak berpihak kepada kepentingan rakyat dan itu merupakan bentuk dari keegoisan pemerintah.
Solusi untuk mewujudkan cita-cita bangsa kita yaitu mencerdarkan kehidupan bangsa adalah pemerintah diharapkan membuka akses yang sebesar-besarnya kepada siapapun dan tidak pandang bulu. Karena pendidikan merupakan salah satu factor untuk membagun sebuah Negara. Sebuah Negara akan maju karena pendidikannya, sebuah Negara cepat pulih dari keterpurukan karena pendidikan, contohnya Jepang dapat bangkit dari kekalahannya pada perang dunia ke II karena pendidikan. Kemudian dalam menerapkan sebuah kebijakan pemerintah diharapkan mensosialisasikan terlebih dahulu kepada masyarakat agar peristiwa seperti UKT ini tidak terjadi lagi dan masyarakat tidak merasa dibodohi akan kebijakan tersebut. Selain itu mahasiswa diharapkan agar lebih kritis terhadap kebijakan pemerintah dan dapat menjadi aktor dalam pencerdasan masyarakat akan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah.
 

No comments:

Post a Comment