Last week I wrote an opinion article, i intend to send it to one of local newspaper in my town. but unfortunately it failed to publish, because the title of my article is not suitable for current issue. But nevermind i will post it here. Just keep Fighting and gambatte ^^.
DEMOKRASI KARBITAN
Oleh Sovia Hasanah
Anggota Muda Lembaga Advokasi Mahasiswa
dan Pengkajian Kemasyarakatan
(LAM&PK FHUA)
Bagaikan pisang masak dengan bantuan
karbit, begitu juga Negara kita yang
kekeuh sekali menyatakan diri sebagai Negara demokrasi. Memang benar secara
normaif Negara kita merupakan Negara hukum dengan salah satu ciri menjunjung
tinggi nilai demokrasi. Tapi sayangnya demokrasi yang dilakoni adalah demokrasi
karbitan. Setalah reformasi, Indonesia terburu-buru ingin keluar dari belenggu rezim
orde baru. Reformasi secara besar-besaran terjadi akibat luka yang timbul pada
rezim orde baru. Kekuasaan eksekutif mulai dibatasi dengan diamandemennya UUD
1945 dan secara eksplisit memberikan kekuasaan yang lebih kepada lembaga
legislatif. Awalnya ini merupakan hal
yang baik dimana dalam sebuah Negara demokrasi rakyatlah yang berkuasa baik
secara langsung maupun diwakilkan kepada dewan perwakilan rakyat sebagai
represantasi dari rakyat itu sendiri.
Hakikatnya, demokrasi merupakan
resistensi dari elit-elit yang bekuasa. Namun kenyataannya demokrasi itu
merupakan alat bagi para elit-elit penguasa untuk mencari kekuasaan. Untuk
mencapai kekuasaan tersebut banyak cara yang digunakan. Ada yang menjual
popularitasnya,dan ini banyak kita temui pada artis yang nyaleg, Ada yang
menguras harta kekayaannya dan ada juga digerakkan oleh cukong dan rela menjadi
boneka cukong tersebut. Seperti yang banyak kita lihat calon leglislatif yang
dibacking oleh pengusaha yang dengan harapan apabila berhasil menduduki kursi
dewan rakyat kepentingan para pengusaha bisa dimuluskan oleh anggota dewan
melalui undang-undang yang di produksi. Semua hanya dilakukan demi kekuasaan
yang besar sebagai wakil rakyat atau pejabat eksekutif yang dicapai dengan cara
memanfaatkan demokrasi karbitan Indonesia. Siapa saja bisa duduk di kursi empuk
DPR asal bisa memenangkan pemilu yang hanya jadi ajang unjuk kebolehan dengan
modal uang yang jamak mewarnai pemilu Indonesia. Orang-orang yang tak punya
kocek tebal tentu hanya bisa menghayal untuk bisa mencicipi kursi empuk DPR.
Pasalnya, tiket masuk DPR sudah terlalu mahal bagi kaum berkocek tipis. Untuk
masuk daftar calon sementara pemilu tahun depan, ada partai yang memasang tarif
yang “wow” sekali. Kalau memang seperti itu adanya demokrasi yang katanya dari
rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat,pastinya masih jauh dari harapan. Tujuan
semula duduk di parlemen adalah untuk memperjuangkn kepentingan rakyat, pasti
berubah seiring proses pencapaian kekuasaan tersebut. Praktis representasi
politik di negeri ini berada ditangan orang yang mampu membayar. Ongkos politik
perebutan kursi di parlemen memang kian mahal. Calon legislator akan beradu
polularitas. Popularitas tentu saja tidak didapatkan dengan cara mudah, perlunya
menggali kocek yang lebih dalam lagi untuk mempopulerkan diri. Pemilik kursi
palemen akan ditentukan oleh perolehan suara setiap calon. Walhasil,
pertarungan antar calon dalam suatu partai pun bakal terjadi. Dengan
pertarungan terbuka seperti itu, jorjoran biaya kampanye akan terjadi. Selain
wajib menyumbang untuk keperluan partai, setiap kandidat perlu menyiapkan
pengeluaran masing-masing seperti biaya pembuatan pamphlet,baliho, iklan-iklan
di media cetak maupun elektronik sampai uang cadangan untuk serangan fajar.
Yang tidak mampu membayar pasti
kalah pamor dan nantinya kalah di pemilu. Dan konsekuensinya gagal duduk di
kursi empuk parlemen. Bagi yang tidak mampu membayar tapi dicukongi oleh pemodal,
setelah duduk di parlemen dijadikan boneka untuk memperjungkan kepentingan
orang yang mencukonginya. Sungguh ironis sekali.
Semua ini merupakan dampak dari
demokrasi karbitan Indonesia. Sejatinya Indonesia masih belum siap dengan apa
yang dikatakan dengan demokrasi itu sendiri. Berbagai upaya dirasa perlu
dillakukan agar Negara kita siap mengahadapi demokrasi yang substansial bukan
prosedural belaka.
Solusi yang bisa ditawarkan untuk
demokrasi Indonesia ialah perlunya kontrol tegas dari “wasit” dalam pentas
pemilu. KPU dan Bawaslu jangan sampai memiliki kepentingan pemenangan salah satu
calon. KPU dan jajaran KPUD di daerah harus menjadi “wasit” yang tegas serta
mampu mengeluarkan “kartu” untuk mereka yang nakal dengan kordinasinya dengan
Bawaslu. Dewan kehormatan penyelenggara pemilu (DKPP) yang sekarang gencar
membersihkan internal KPU harus diapresiasi oleh masyarakat serta dikawal.
Golongan akademisi baik mahasiswa dan dosen harus mampu memberikan pencerahan
berdemokrasi bagi masyarakat sekitar. Baik di keluarga dan dimasyarakat
akademisi adalah “tempat bertanya” yang harusnya dioptimalkan. Mahasiswa ilmu
sosial dan politik serta hukum harusnya menjadi “penerang” demokrasi bagi
masyarakat kita.
Parpol-parpol pemain dalam pentas
demokrasi haruslah mengadakan pendidikan politik bagi masyarakat. Selain itu,
media massa haruslah menjadi pencerdasan yang efektif bagi masyarakat. Namun,
media sekarang pun tak luput dari kepentingan politik golongan atau perorangan.
Masyarakat harus cerdas dengan pengalaman pahit yang telah berlarut terjadi di
belakang. Jangan memilih orang yang cuma punya modal tapi tak mampu menjadi
pemimpin yang cerdas dan memiliki visi yang nyata bukan kepura-puraan lewat
slogan di bahilo besar semata.
here's my 2nd opinion. it's about UKT (uang kuliah tunggal) we can call it tutuion fee in collage. this policy just give more burden to parent's student .
Uang Kuliah Tunggal = Musang Berbulu Domba
Oleh Sovia Hasanah
Anggota Muda Lembaga Advokasi Mahasiswa dan
Pengkajian Kemsyarakatan
(LAM&PK FHUA)
Menjelang tahun ajaran baru, orang tua calon
mahasiswa harus siap dengan serangan maut uang kuliah tunggal (UKT). Karena
kebijakan UKT akan diterapkan untuk mahasiswa 2013/2014 seluruh Indonesia pada
tahun ajan baru ini. Pemerintah berdalih bahwa uang masuk kuliah akan murah
karena uang pangkal ditiadakan.
Masyarakat pasti mendukung kebijakan diberlakukan UKT ini karena uang
pangkal ditiadakan. Namun, sebenarnya itu hanya taktik pemerintah saja
untuk menaikkan uang kuliah melalui UKT.
Tapi secara tidak sadar masyarakat telah dikecoh oleh pemerintah.
Ibarat rumus matematika, UKT merupakan turunan
pertama dari UU No.12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UUPT). Dengan
diberlakukan UKT artinya pemerintah sudah memepersempit akses pendidikan bagi
mahasiswa ekonomi rendah. Pemerintah sudah mengabaikan amanat yang tertuang
dalam pasal 31 Ayat 1 UUD 1945 dimana setiap warga Negara berhak mendapatkan
pendidikan yang layak. Kebijakan UKT berdasarkan Permen Kemendikbud No.55 tahun
2013 univesitas hanya diwajibkan menampung 10% mahasiswa yang berekonomi rendah
padahal jumlah mahasiswa miskin lebih dari 50%. Dengan sistim uang kuliah lama
saja hanya 20% dari penduduk Indonesia yang dapat mengecap pendidikan tinggi,
apabila diterapkannya UKT kita tidak dapat membayangkan bagaimana nasib bangsa
kita nanti kedepannya. Selama ini biaya kuliah di PTN terdiri dari berbagai komponen antara lain
sumbangan pengembangan pendidikan (SPP),
sumbangan pengembangan institusi (SPI), biaya operasional pendidikan
(BOP), responsi dan kegiatan perkuiahan lain (PRKP) dan sebagainya. Namun,
dengan diterapkan UKT semua kompenen diatas disatukan dan dibagi delapan. Secara kasat mata UKT terlihat jauh
lebih menguntungkan dibandingkan dengan sistim uang kuliah lama. Tapi setelah
dikalkulasikan ternyata UKT dua kali lipat
lebih mahal. Selain itu dalam sistim pembayaran UKT ini membagi mahasiswa kedalam
lima level pembayaran. Ini secara tidak langsung telah menciptakan klasifikasi
sosial didalam lingkungan kampus.
Sejatinya UKT diterapkan karena adanya bantuan
operasional perguruan tinggi(BOPTN). BOPTN ini ditentukan sesuai dengan
kebutuhan dan kapasitas masing-masing universitas. Pertanyaannya adalah bagi
universitas yang mendapatkan BOPTN yang sedikit apakah UKT-nya mahal? .
jawabannya iya. Bagi univesitas yang mendapatkan BOPTN rendah maka kemungkinan
besaran UKT tinggi dan akan menjadikan mahasiswa sebagai sapi perah universitas
itu sendiri. Selain itu UKT merupakan langkah preventif pemerintah untuk
menanggulangi pencarian BOPTN yang lambat dicairkan, dan UKT harus dibayarkan
langsung tepat waktu tidak ada penundaan seperti SPP.
Setelah dikaji lebih dalam UKT memiliki kejanggalan-kejanggalan yang dirasa
merugikan mahasiswa secara menyeluruh. Secara yuridis kebijakan UKT yang akan
diterapkan ini cacat hukum. Pasalnya kebijakan UKT hanya berdasarkan surat edaran Dirjen Dikti
yang dikeluarkan sebanyak lima kali dan katanya surat edaran ini berdasarkan
pada UU No.12 tahun 2012 tentang pendidikan tinggi. Seperti yang kita ketahui
surat edaran tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat itu hanya sekedar
pemberitahuan pelaksanaan. Kalau memang pemberlakuan UKT berdasarkan UU No.12
tahun 2012 seharusnya diatur lebih lanjut di dalam peraturan pelaksanaan
lainnya dalam bentuk peraturan pemerintah agar kebijakan itu memiliki kekuatan
hukum yang mengikat. Disamping itu surat edaran Dirjen Dikti telah lebih dahulu
keluar yaitu pada Januari 2012 sedangkan UU No.12 tahun 2012 baru keluar
Agustus 2012.
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa
kebijakan pemerintah tentang penerapan UKT secara eksplisit merugikan
masyarakat berekonomi rendah serta tidak berpihak kepada kepentingan rakyat dan
itu merupakan bentuk dari keegoisan pemerintah.
Solusi untuk mewujudkan cita-cita bangsa kita
yaitu mencerdarkan kehidupan bangsa adalah pemerintah diharapkan membuka akses
yang sebesar-besarnya kepada siapapun dan tidak pandang bulu. Karena pendidikan
merupakan salah satu factor untuk membagun sebuah Negara. Sebuah Negara akan
maju karena pendidikannya, sebuah Negara cepat pulih dari keterpurukan karena
pendidikan, contohnya Jepang dapat bangkit dari kekalahannya pada perang dunia
ke II karena pendidikan. Kemudian dalam menerapkan sebuah kebijakan pemerintah
diharapkan mensosialisasikan terlebih dahulu kepada masyarakat agar peristiwa
seperti UKT ini tidak terjadi lagi dan masyarakat tidak merasa dibodohi akan
kebijakan tersebut. Selain itu mahasiswa diharapkan agar lebih kritis terhadap
kebijakan pemerintah dan dapat menjadi aktor dalam pencerdasan masyarakat akan
kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah.